Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala
menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah
mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang
kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan
yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi
musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus
ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung
meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan
takdir Allah.
Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan
Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap
perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa
ridha dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah
dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap pembagian jatah
yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha
terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus
ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan
kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang
diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa
ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk
merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas
hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan
kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab kehilangan
hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib)
Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang
tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari
sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap
ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui
musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla
jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid,
hal. 392-393)
Sabar dan Syukur
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang
beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan
kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan
maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.”
(HR. Muslim)
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi
takdir Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi
dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak beriman.
Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik
baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar dan tabah
menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta mengharapkan pahala
dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala
orang-orang yang sabar. Maka ini baik baginya.
Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun
duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan
kepada Allah. Karena syukur bukan saja mencakup ucapan syukur di
mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan berbagai
ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua
nikmat ketika mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa
senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun baik bagi
dirinya.
Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali,
wal ‘iyaadzu billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka
tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir,
mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur
kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di
dunia ini kelak di akhirat akan berubah menjadi siksaan. Karena orang
kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman kecuali
dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang
mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang
artinya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan
Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang
beriman di dalam kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka
saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf [7]: 32).
Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman
saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang-orang yang tidak beriman
maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka memakannya padahal
itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa
karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan
adalah sama-sama buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat
Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108)
Hikmah di Balik Musibah
Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan
apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan
hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.”
(Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab
tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini
hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak
(1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah
karya Al Albani dengan nomor 1220)
Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah
nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga
menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi
pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan
merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan
ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat
agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan
oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini
termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada
hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk,
kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah
menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada
maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi
maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang
musibah yang menimpa agamanya.”
“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat
ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan
munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan
penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban
yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang
diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka
bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila
ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah,
bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang
dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan
ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya
adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan
Rabb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk
manusia, dan Allah ta’ala maha terpuji karena
perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah
lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah
nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka
muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).
Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya
niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah
orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan
memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156) Ampunan
dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula
derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar
yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan
tersebut” Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat
Fathul Majiid, hal. 353-354)
Doa Apabila Tertimpa Musibah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii
fii mushiibatii wa ahklif lii khairan minhaa
Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita
pasti akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala
atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang lebih baik
darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim,
hal. 96-97)
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena
suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi
diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa
bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
menjawab, “Allah ‘azza wa jalla menguji hamba-hamba-Nya
dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan
kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa
menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga
demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka. Yang demikian itu
sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush
shalatu was salaam, dan juga para hamba Allah yang shalih.
Sebagaimana sudah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para
Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah
tingkatan mereka.”
Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa (yang mereka lakukan).
Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan hukuman yang di
segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci
yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu
terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah
memaafkan banyak kesalahan orang.” (QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena
taqshir/meremehkan dan tidak menunaikan kewajiban yang telah
dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa dirinya maka itu
sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta
kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.
Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan
hamba Allah yang shalih, entah berupa penyakit tertentu ataupun
musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini termasuk kategori
ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan Rasul dalam rangka
mengangkat derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia
bisa menjadi contoh untuk orang lain dalam hal kesabaran dan
keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih
dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat,
peningkatan pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh
Allah menimpa para Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.
Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa
kesalahan-kesalahan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah ta’ala
yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan pasti akan
dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
ada sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan
maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan Allah pasti
menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai
duri yang menusuk bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang
diinginkan baik oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah
kepadanya.”
Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di
segerakan disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan
kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu sebagaimana diceritakan di
dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi
hamba-Nya maka Allah segerakan hukuman baginya di alam dunia.
Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka
Allah menahan hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada
hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan). (Majmu’
Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari
website beliau)
Marah Saat Tertimpa Musibah ?
Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah
?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
menjawab, “Orang ketika menghadapi musibah terbagi dalam empat
tingkatan :
Tingkatan Pertama: Marah
Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di
dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa
yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan terkadang
bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang yang
menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa kebaikan dia pun
merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik
ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al
Hajj [22]: 11).
Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan
ucapan. Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau
ucapan semacamnya, ini juga haram.
Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap
sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan
menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut
dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan
meniadakan sifat sabar yang wajib ada.
Tingkatan Kedua: Bersabar
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam
syairnya,
Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu
Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat
akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya. Dia merasa
tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa menjaganya
untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih
terasa berbeda baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib.
Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersabar.
Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]:
46).
Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha
Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya.
Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak
merasakannya sebagai sebuah beban yang sangat berat. Ini adalah
tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal
yang wajib menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini
dengan tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan
ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal keridhaan
terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu
masih dirasakan sebagai sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih
tetap bersabar.
Tingkatan Keempat: Bersyukur
Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur
kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa pada
hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya dosa-dosanya,
bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada
sebuah musibah pun yang menimpa seorang muslim, kecuali pasti Allah
hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri
yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)).
(Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil
Islam, hal. 126-127)
Balasan Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh
Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta
kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar
gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila
tertimpa musibah mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal
dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya”. Mereka itulah
orang-orang yang akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.”
(QS. Al Baqarah [2]: 155-157).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa
barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan
darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian.
Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya
keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila
dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh
orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 76)
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya
balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.”
(QS. Az Zumar [39]: 10).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata di dalam kitab tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua
jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa
menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari
kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di
dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga
dia pun merasa lapang dalam melakukannya.
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk
mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun
angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa
diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat
sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan
pula bahwa Allah lah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 721)
Surga Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu)
Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima
shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan atas kesabaran
kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar